Sejarah Mandala (model politik)

Beberapa mandala yang saling tumpang-tindih di daratan Asia Tenggara sekitar tahun 1360: dari utara ke selatan Lan Xang, Lanna, Sukhothai, Ayutthaya, Angkor dan Champa.

Secara sejarah, kekuatan mandala utama antara lain Kerajaan Khmer di Kemboja, Sriwijaya di Sumatera, rangkaian kerajaan-kerajaan di Jawa (Medang, Kadiri, Singhasari dan Majapahit), Ayutthaya di Thailand, Champa dan Dai Viet di Vietnam dan China.[2]:27-40, 126-154 China menempati posisi khusus karena sering kali mandala utama Asia Tenggara memberi persembahan ke China untuk mendapatkan keistimewaan ekonomi berupa hubungan dagang dengan China, meskipun syarat persembahan ini umumnya sangat minimal. Beberapa negara bawahan dalam perlindungan China misalnya Kemboja, Lan Xang (dilanjutkan oleh Vientiane dan Luang Prabang) serta Lanna. Kamboja secara khusus digambarkan oleh kaisar Vietnam Gia Long, sebagai "negara merdeka yang diperbudak dua tuan"[3]

Kedatangan Islam di Nusantara menyaksikan penerapan sistem ini yang masih bersambung dalam pembentukan kerajaan, misalnya pembentukan gabungan Negeri Sembilan abad ke-18 yang bertumpukan kepada Seri Menanti sebagai pusat yang diapit empat luak serambi dalam dan empat daerah luar.[4]

Sistem ini berakhir dengan kedatangan kekuasaan Eropah pada pertengahan abad ke-19. Secara budaya mereka memperkenalkan amalan geografik Eropah yang beranggapan setiap wilayah hanya dikuasai satu penguasa; penerapan ini dilaksanakan secara penjajahan di Indochina Perancis, Tanah Melayu dan Burma British, serta Hindia Belanda memaksa penguasa kolonial ini untuk menetapkan batas wilayah koloni milik mereka. Wilayah kerajaan bawahan ini lalu dibagi-bagi antara koloni-koloni Eropah ini dan kerajaan Siam.